Sayang yang telat dirasakan

Beberapa hari lalu, aku berdiskusi dengan kakak ku mengenai luka pengasuhan yang tidak boleh di turunkan kembali ke anak.. dan beberapa kejadian dan sikap preventif maupun ***if dilakukan oleh kakak dan masyaa Allah yaa, mereka saling mengerti dan saling menguatkan ketika salah satu dari mereka teringat atau secara tak sadar berlaku kembali kepada anaknya sendiri mengenai apa yg pernah dirasakannya dlu. "dlu mamah kan gini, " "dulu aku gaboleh klo ini" "dlu mamah langsung ini klo aku ini". Ketika sudah terlontar kata kata tersebut, ohh, sang suami ataupun istri langsung menyadari bahwa hal tsb merupakan luka pengasuhan yang sedang ternostalgia dan hampir diterapkan kembali ke anaknya. Aku juga pernah membaca berkaitan dengan hal ini pada sebuah instagram yang membahas mengenai parenting dan disitu beliau bilang bahwa siklus ini harus kita yang putus. oke. fine. sampai situ aku rasa kita semua udah bisa paham

mengapa aku bisa cerita spt itu? karena sebenarnya aku juga baru merasakannya sekarang. bahkan lebih tepatnya menyadarinya. kasusnya adalah, ketika aku yang lagi semangat semangatnya lari, selalu enggan untuk menceritakan "jenis cidera" yang aku alami kepada mas mentor. Tanpa ku sadari, selama ini yang membuat ku takut untuk menceritakan kejadian tsb adalah, sikap beliau yang langsung "udah, rasain yah, lanjutin aja tuh larinya". "udah, mas gamau urut lagi yah". kurang lebih kata kata yang keluar bersifat "mengancam". seperti mengancam untuk tidak menemani lagi, atau langsung menakut nakutin, atau langsung melebih lebihkan seperti "teruss yaa, kayak gitu bagus kan".

Ternyata, ketakutan akan hal inilah yang membuat aku enggan menceritakan apa yang aku rasakan "sebenarnya" kepada orang lain. walaupun sebenarnya aku sedikit tahu dan ada sedikit keyakinan bahwa mas akan tetap mengurut, tapi tetap saja rasa sungkan itu ada. Baru kusadari itu adalah "luka pengasuhan" yang kurang lebih mirip seperti yang mamah sampaikan kepada aku ketika aku jatuh, atau keseleo setelah main bola. mamah bilang "rasainnnnnn yah, udah lanjutin aja main bolanya". dannn,, tidak lain stigma yang akan keluar setelah tindakan tersebut, adalah pelarangan akan hal tersebut. "udah kamu gausah paskib paskib lagi ya". atau "udah kamu gausah main bola lagi ya". dan yaa,  pas kecil akhirnya aku bandel gapernah cerita, dan papah ngajarin juga buat jangan cerita ke mamah, ceritanya pas udah selesai aja. klo apa apa cerita ke papah dlu. yaudahh deh kyk gitu kurang lebih ketika aku masih kecil.

tanpa disadari, perkataan tersebut sebenarnya merupakan bentuk sayangnya ibu kepada kita. diantara sikap "protektif" yang beliau lontarkan. atau takut kehilangan, takut kita kenapa kenapa. dan begitulan "cara" ibu menyampaikan rasa sayangnya. selain diantara yg mas mentor sampaikan berkaitan dengan hal tsb budaya minang supaya kita lebih "ketampar" atau lebih "jleb" sama kesalahan kita, aku mungkin agak kurang suka ya sama hal tersebut. tapi diluar dari itu semua, aku sangat menyadari bahwa ibu sayang banget sama aku sekarang.

keriput yang semakin bertambah, tangannya yang semakin lemah, tenaganya yang sudah berkurang. wkwk, bayangin dlu mamah sekuat apa, ternyata beliau sudah menginjak masa degradasi kekuatannya... saranku ya jar. jangan sia sia in itu... jangan lupa telfon ibu, ceritanya gak seberapa,, tapi beliau sangat butuh itu. sesimpel cerita kemarin makan apa, ngajar di LTQ gimana, atau cerita apapun itu. kapan lagi kamu bisa berbakti dan balas kebaikan ibu jarr.... dan kamu sangat sadari itu bahwa kamu sangat menyayangi beliau, dan surga mu itu ada di beliau.... :") intinya inget ibu sedih aja, sesimpel tulisan mu yang sebelumnya, atau tulisan yang pernah kamu tulis ketika famgath jar, coba di up lagi.

luka pengasuhan is another thing, but i really understand that my mother loves me. and i dont want to waste it in my *entire lifetime 

biarkan luka pengasuhan jadi pelajaran, tapi itu gapernah mengurangi sayangmu kepada ibu. 

aku sayang ibu

Comments

Popular posts from this blog

Alhamdulillah, Aku belum terobsesi makan enak

3 Ujian besar